Opinion

Puisi turut meriahkan Pemilu Indonesia

Setiap kali Pilihan Raya Indonesia (Pemilu), sejak 2004 hingga 2014 ini, ia turut dimeriahkan dengan deklamasi puisi di pelbagai pertemuan besar dan kecil dan risalah yang mengandungi puisi.

Juga ada bait-bait puisi yang dilekatkan di pelbagai tempat, terutamanya di pinggir hotel, pasar, pusat membeli belah, terutamanya di kota besar seperti Jakarta, Medan, Surabaya, dan Jogjakarta.

Ia merancakkan lagi Pemilu Indonesia yang digelar sebagai ‘Pesta Demokrasi’ yang berlangsung di Indonesia penuh demokratik dan telus.

Lima tahun lalu, ketika saya berada di Jakarta dan kota lain di negara itu untuk menyaksikan perjalanan Pemilu Presiden di sana, saya amat terkesan dengan aktiviti penyair di sana dengan puisi mereka yang turut mewarnai jalannya demokrasi di negara 248 juta penduduk itu.

Saya belum sempat ke sana ketika Pemilu peringkat Lagislatif (Parlimen dan negeri) berlangsung baru-baru ini, tetapi saya dapat membayangkan kemeriahannya.

Lebih-lebih lagi saya terkesan dengan sebuah laporan di portal berita Kompas.com, Jakarta yang memuatkan sebuah tulisan mengenai kegiatan berpuisi ketika berlangsungnya Pemilu baru-baru ini.

Lima tahun lalu, kata laporan itu, setiap kali berada di salah satu bangunan di bahagian timur Suruhanjaya Pemilihan Umum, di Jalan Imam Bonjol, Jakarta, sesekali beliau automatik mengarah pada sebuah pigura berukuran sekitar 40 x 70cm.

Di sebalik cermin pigura itu, kata penulis itu, selembar kertas dengan dominasi warna coklat, baris-baris panjang puisi tertera: "Ketika Indonesia Dihormati Dunia" iaitu judul larik puisi itu.

Puisi tersebut karya Taufiq Ismail, dibacakan dalam deklarasi bersama Pemilu Damai menjelang pelaksanaan Pemilu 2004.

Sesudahnya, puisi itu terpampang dalam pigura biasa itu di ruang Media Center KPU hingga akhir Pemilu 2009.

Ketika menatap puisi itu, beliau terasa mengalami masa ketika seluruh mata dunia menatap Indonesia dengan penuh penghormatan.

Bukan kerana kekayaan alamnya, bukan kerana pertemuan teknologi paling mutakhirnya, melainkan kerana Pemilu yang sangat demokratik.

Penulis laporan itu bertanya, akan muncul lagikah masa gemilang itu, pemikiran terbaik anak bangsa, memunculkan orang terbaik dengan daya usaha, visi, etos, langkah yang benar-benar mendatangkan penghormatan dunia?

Ada kebimbangan penulis laporan itu bahawa kecemerlangan Indonesia sukar berulang denggan pelbagai sebab – dengan aroma rasuah, saling tidak mempercayai dan pelbagai lagi.

Baginya, jika ini berlaku, ini seolah-olah politik adalah bahagian lain daripada bumi Indonesia, yang hanya golongan politik ini dengan kriteria tertentu saja yang perlu menjamahnya.

Tidak ada lagi cerita tentang pidato politik menggelora seorang pemuda umur 20-an, semacam ‘Indonesia Menggugat'.

Kata penulis itu, lahir lagikah ungkapan-ungkapan Almarhum Presiden Sukarno, “Kemerdekaan adalah Jembatan Emas" - dengan tugas dan amanat yang perlu diwujudkan sesudah jambatan tersebut diseberangi.

Namun politik pada hari ini, katanya seolah-olah hanya adu retorika, saling cerca, janji yang pasti tidak akan dipenuhi, dan yang jelas: busuk.

Beliau mengingatkan bahawa, kata-kaya: “Jangan lupakan sejarah dan barangkali ini hanya semacam kerinduan daripada generasi yang tidak pernah melihat langsung rasanya mendapat penghargaan dunia atas proses demokrasi di negara yang sampai abad 21 ini masih sahaja masuk kategori negara berkembang.

Mungkin ini hanya upaya untuk belajar mengunyah ajaran "jangan pernah lupakan sejarah" seperti kata Sukarno.

Ketika menyatakan kebimbangannya ini, beliau menurunkan puisi penyair terkenal Indonesia, Taufiq Ismail itu berjudul: ‘Ketika Indonesia Dihormati Dunia’.

Dengan rasa rindu kukenang pemilihan umum setengah abad yang lewat
Dengan rasa kangen pemilihan umum pertama itu kucatat
Peristiwa itu berlangsung tepatnya di tahun lima puluh lima
Ketika itu sebagai bangsa kita baru sepuluh tahun merdeka
Itulah pemilihan umum yang paling indah dalam sejarah bangsa
Pemilihan umum pertama, yang sangat bersih dalam sejarah kita

Waktu itu tak dikenal singkatan jurdil, istilah jujur dan adil
Jujur dan adil tak diucapkan, jujur dan adil cuma dilaksanakan
Waktu itu tak dikenal istilah pesta demokrasi
Pesta demokrasi tak dilisankan, pesta demokrasi cuma dilangsungkan
Pesta yang bermakna kegembiraan bersama
Demokrasi yang berarti menghargai pendapat berbeda

Pada waktu itu tak ada huru-hara yang menegangkan
Pada waktu itu tidak ada setetes pun darah ditumpahkan
Pada waktu itu tidak ada satu nyawa melayang
Pada waktu itu tidak sebuah mobil pun digulingkan lalu dibakar
Pada waktu itu tidak sebuah pun bangunan disulut api berkobar
Pada waktu itu tidak ada suap-menyuap, tak terdengar sogok-sogokan
Pada waktu itu dalam penghitungan suara, tak ada kecurangan

Itulah masa, ketika Indonesia dihormati dunia.
Sebagai pribadi, wajah kita simpatik berhias senyuman
Sebagai bangsa, kita dikenal santun dan sopan
Sebagai massa kita jauh dari kebringasan, jauh dari keganasan

Tapi enam belas tahun kemudian, dalam 7 pemilu berturutan
Untuk sejumlah kursi, 50 kali 50 sentimeter persegi dalam ukuran
Rakyat dihasut untuk berteriak, bendera partai mereka kibarkan
Rasa bersaing yang sehat berubah jadi rasa dendam dikobarkan
Kemudian diacungkan tinju, naiklah darah, lalu berkelahi dan berbunuhan

Anak bangsa tewas ratusan, mobil dan bangunan dibakar puluhan
Anak bangsa muda-muda usia, satu-satu ketemu di jalan, mereka sopan-sopan
Tapi bila mereka sudah puluhan apalagi ratusan di lapangan
Pawai keliling kota, berdiri di atap kendaraan, melanggar semua aturan
Di kepala terikat bandana, kaus oblong disablon, di tangan bendera berkibaran
Meneriak-neriakkan tanda seru dalam sepuluh kalimat semboyan dan slogan
Berubah mereka jadi beringas dan siap mengamuk, melakukan kekerasan
Batu berlayangan, api disulutkan, pentungan diayunkan

Dalam huru-hara yang malahan mungkin, pesanan
Antara rasa rindu dan malu puisi ini kutuliskan
Rindu pada Pemilu yang bersih dan indah, pernah kurasakan
Malu pada diri sendiri, tak mampu merubah perilaku Bangsaku
.

Puisi ini ditulis oleh Taufik Ismail ketika mengenang perjuangan reformasi menentang regim Presiden Suharto, yang mengorbankan demikian ramai rakyat Indonesia sendiri.

Hari ini, ketika rakyat Indonesia benar-benar menikmati erti kebebasan, sejak pintu demokrasi dibuka seluas-luasnya oleh bekas Presiden BJ Habibie dan ketika berada dalam suasana menjelang Pemilu Presiden pada bulan Ramadhan, 9 Julai ini, puisi ini diingat kembali bersama dengan puisi yang lain oleh rakyat Indonesia.

Demikianlah puisi turut memeriahkan ‘Pesta Demokrasi’ di negara itu. – 22 April, 2014.

* Ini adalah pendapat peribadi penulis dan tidak semestinya mewakili pandangan The Malaysian Insider.

Comments

Please refrain from nicknames or comments of a racist, sexist, personal, vulgar or derogatory nature, or you may risk being blocked from commenting in our website. We encourage commenters to use their real names as their username. As comments are moderated, they may not appear immediately or even on the same day you posted them. We also reserve the right to delete off-topic comments