Opinion

Golongan miskin dari kaca mata sasterawan

Ketika masyarakat digegarkan dengan isu golongan gelandangan di bandaraya Kuala Lumpur, saya teringat kembali puisi penyair terkenal Indonesia allahyarham WS Rendra berjudul Orang-Orang Miskin. Puisi itu sangat berbobot dan sangat indah, sebuah potret kehidupan golongan gelandangan yang sangat mengesankan.

Saya kira dalam situasi yang ada sekarang di mana isu golongan gelandangan di bandaraya Kuala Lumpur meledak sedemikian rupa, maka puisi seniman besar Indonesia ini wajar menjadi renungan, kerana iklim dan fenomena golongan miskin ini sama saja, sama ada di Jakarta, di Kuala Lumpur atau di mana-mana.

Isu golongan gelandangan di bandaraya Kuala Lumpur menjadi perhatian umum apabila ramai menyatakan simpati dan menyambut baik usaha NGO melancarkan program soup kitchen memberi makanan dan minuman kepada gelandangan di ibu kota.

Langkah para simpatisan terhadap golongan miskin ini walaupun tidak disenangi pihak tertentu, tetapi menyerlahkan fenomena yang menarik dan penting. Masih tetap ada rakyat berhati mulia yang bersedia menghurkan bantuan kepada golongan gelandangan ini. NGO berhati mulia ini, nampaknya, semakin ramai jumlahnya.

Di sini saya rakamkan kembali sebahagian puisi W S Rendra, mengenai golongan terpinggir ini dengan judul puisinyua 'Orang-Orang Miskin':

Orang-orang miskin di jalan,

yang tinggal di dalam selokan,

yang kalah di dalam pergulatan,

yang diledek oleh impian,

janganlah mereka ditinggalkan.

 

Angin membawa bau baju mereka.

Rambut mereka melekat di bulan purnama.

Wanita-wanita bunting berbaris di cakrawala,

mengandung buah jalan raya.

Orang-orang miskin. Orang-orang berdosa.

Bayi gelap dalam batin. Rumput dan lumut jalan raya.

Tak bisa kamu abaikan.

 

Bila kamu remehkan mereka,

di jalan  kamu akan diburu bayangan.

Tidurmu akan penuh igauan,

dan bahasa anak-anakmu sukar kamu teka.

 

Jangan kamu bilang negara ini kaya

karana orang-orang miskin berkembang di kota dan di desa.

Jangan kamu bilang dirimu kaya

bila tetanggamu memakan bangkai kucingnya.

 

Lambang negara ini mestinya trompah dan blacu.

Dan perlu diusulkan

agar ketemu presiden tak perlu berkot seperti Belanda.

Dan tentara di jalan jangan bebas memukul mahasiswa.

 

Orang-orang miskin di jalan

masuk ke dalam tidur malammu.

Perempuan-perempuan bunga raya

menyuapi putra-putramu.

Tangan-tangan kotor dari jalanan

meraba-raba kaca jendelamu.

Mereka tak bisa kamu biarkan.

 

Jumlah mereka tak bisa kamu ramal menjadi nol.

Mereka akan menjadi pertanyaan

yang mencegat ideologimu.

Gigi mereka yang kuning

akan meringis di muka agamamu.

Kuman-kuman sipilis dan tbc dari lorong gelap

akan hinggap di kediaman orang besar

dan buku program gedung kesenian.

 

Orang-orang miskin berbaris sepanjang sejarah,

bagai udara panas yang selalu ada,

bagai gerimis yang selalu membayang.

Orang-orang miskin mengangkat pisau

tertuju ke dada kita,

atau ke dada mereka sendiri.

Di negara ini, penyair besar tanah air, seperti allahyarham Usman Awang tidak putus-putusnya merakamkan potret dan ratap tangis golongan miskin di desa. Beliau tahu benar potret kehidupan orang miskin di situ kerana beliau sendiri diahir dan dibesarkan di kampung nelayan miskin di di Tanjung Lembu, Kuala Sedili, Kota Tinggi, Johor, pada 12 Julai 1929 dan meninggal dunia 27 November 2001.

Maknanya, sasterawan besar ini tidak pernah terpisah daripada golongan miskin sama ada di kawasan pedalaman mahupun di kota besar seperti di Kuala Lumpur.

Saya membayangkan jika Usman Awang masih ada hayatnya dan menyaksikan apa yang berlaku sekarang, iaitu golongan gelandangan di ibu negara serta bagaimana golongan budiman seperti NGO soup kitchen memberikan bantuan makanan dan minuman, maka saya kira Usman akan merakamkan puisi yang membayangkan hatinya menyaksikan peristisa kemanusiaan yang menarik ini.

Dengarlah bagaimana getaran jiwa allahyarham Usman Awang dalam puisinya 'Pak Utih':

Punya satu isteri mau dakap sampai mati,

Lima anak mau makan setiap hari,

Teratak tua digayuti cerita pusaka,

Sebidang tanah tandus untuk huma.

Kulit tangan tegang berbelulang,

Biasa keluarkan peluh berapa saja,

O Pak Utih, petani yang berjasa.

Tapi malaria senang menjenguk mereka,

Meski dalam sembahyang doa berjuta,

Dan Mak Utih bisa panggil dukun kampung,

Lalu jampi mentera serapah berulang-ulang.

II

Di kota pemimpin berteriak-teriak,

Pilihanraya dan kemerdekaan rakyat,

Seribu kemakmuran dalam negara berdaulat,

Jambatan mas kemakmuran sampai ke akhirat.

Ketika kemenangan bersinar gemilang,

Pemimpin atas mobil maju ke depan, dadanya terbuka,

Ah, rakyat tercinta melambaikan tangan mereka.

Di mana-mana jamuan dan pesta makan,

Ayam panggang yang enak di depan,

Datang dari desa yang dijanjikan kemakmuran.

Pak Utih masih menanti dengan doa,

Bapak-bapak pergi ke mana di mobil besar?

Kini dalam heboh si miskin gelandangan di bandaraya Kuala Lumpur yang mencetuskan kemarahan orang besar akan menarik perhatian ramai orang, terutamanya para sasterawan.

Oleh itu diharapkan akan adalah nanti para penyair rakyat - sama ada daripada kalangan sasterawan besar atau kecil - yang akan merakamkan keringat dan air mata golongan gelandangan yang bergelut untuk meneruskan kelansungan hidup di bawah kolong langit bandaraya Kuala Lumpur.

Di sini saya yakin, sasterawan ternama A Samad Said sangat memahami bahkan sangat simpati dengan nasib golongan gelandangan seperti ini. Beliaulah antara sasterawan yang sangat dekat dengan rakyat.

Di mana ada golongan miskin, di situ ada golongan yang bersimpati. – 8 Julai, 2014.

* Ini adalah pendapat peribadi penulis dan tidak semestinya mewakili pandangan The Malaysian Insider. 

Comments

Please refrain from nicknames or comments of a racist, sexist, personal, vulgar or derogatory nature, or you may risk being blocked from commenting in our website. We encourage commenters to use their real names as their username. As comments are moderated, they may not appear immediately or even on the same day you posted them. We also reserve the right to delete off-topic comments